Senin, 31 Desember 2012

Antara Ayah, Anak dan Burung Gagak

Pada suatu petang seorang tua bersama
anak mudanya yang baru menamatkan
pendidikan tinggi duduk berbincang-
bincang di halaman sambil
memperhatikan suasana di
sekitar mereka.
Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di
ranting pokok berhampiran. Si ayah lalu
menuding jari ke arah gagak sambil
bertanya,
“Nak, apakah benda itu?”
“Burung gagak”, jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun
sejurus kemudian sekali lagi mengulangi
pertanyaan yang sama. Si anak
menyangka ayahnya kurang mendengar
jawabannya tadi, lalu
menjawab dengan sedikit kuat,
“Itu burung gagak, Ayah!”
Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya
lagi pertanyaan yang sama.
Si anak merasa agak keliru dan sedikit
bingung dengan pertanyaan yang sama
diulang-ulang, lalu menjawab dengan
lebih kuat,
“BURUNG GAGAK!!” Si ayah terdiam
seketika.
Namun tidak lama kemudian sekali lagi
sang ayah mengajukan pertanyaan yang
serupa hingga membuat si anak hilang
kesabaran dan menjawab dengan nada
yang kesal
kepada si ayah,
“Itu gagak, Ayah.” Tetapi agak
mengejutkan si anak, karena si ayah sekali
lagi
membuka mulut hanya untuk bertanya
hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-
benar hilang
sabar dan menjadi marah.
“Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau
tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya
soal
hal tersebut dan saya sudah juga
memberikan jawabannya. Apa lagi yang
Ayah mau saya
katakan????
Itu burung gagak, burung gagak,
Ayah…..”, kata si anak dengan nada yang
begitu marah.
Si ayah lalu bangun menuju ke dalam
rumah meninggalkan si anak yang
kebingungan.
Sesaat kemudian si ayah keluar lagi
dengan sesuatu di tangannya. Dia
mengulurkan benda itu
kepada anaknya yang masih geram dan
bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah
diary lama.
“Coba kau baca apa yang pernah Ayah
tulis di dalam diary ini,” pinta si Ayah.
Si anak setuju dan membaca paragraf
yang berikut.
“Hari ini aku di halaman melayani anakku
yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba
seekor gagak hinggap di pohon
berhampiran. Anakku terus menunjuk ke
arah gagak dan
bertanya,
“Ayah, apa itu?”
Dan aku menjawab,
“Burung gagak.”
Walau bagaimana pun, anakku terus
bertanya soal yang serupa dan setiap kali
aku
menjawab dengan jawaban yang sama.
Sehingga 25 kali anakku bertanya
demikian, dan demi
rasa cinta dan sayangku, aku terus
menjawab untuk memenuhi perasaan
ingin tahunya.
“Aku berharap hal ini menjadi suatu
pendidikan yang berharga untuk anakku
kelak.”
Setelah selesai membaca paragraf tersebut
si anak mengangkat muka memandang
wajah si
Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan
perlahan bersuara,
“Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu
soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau
telah hilang kesabaran serta marah.”
Lalu si anak seketika itu juga menangis
dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya
memohon ampun atas apa yg telah ia
perbuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar